Rabu, 31 Oktober 2012

Nalani



4 Oktober
Akhirnya, besok balik juga ke Surabaya. Udah ngga tahan banget di Jakarta. Udah rindu setengah mati ama Surabaya, sekalipun suasana ngga jauh berbeda, tempat asal emang ngga tergantikan. Rindu masakan ibuk. Hehehe
Satu bulan, riset di Jakarta. Bukan hal yang sulit, tapi ngga bisa dibilang mudah juga. Waktu yang cukup singkat, tapi bikin jenuh juga. Aah, sudahlah. Yang penting besok pulang. Hari ini mau dadah-dadah dulu sama Ibukota. Farewell party sama temen-temen tar malem. Lebih tepatnya, makan bareng sebelum balik ke Surabaya. J
Aku Nalani. Orang yang dekat padaku bilang aku salah jurusan. Harusnya aku daftar jadi reserse atau sekalian sekolah detektif bukan menjadi seorang ahli gizi. Hehehe. Orang yang kepo kalo sudah di gelitikin buat kepo. Jadi, kalo ngga pengen diubek-ubek hidupnya sama aku, mending sekalian ngga usah cerita secuil apapun. Sebenarnya sekalipun kalian cerita, kalo itu ngga menarik buatku, aku juga ngga bakalan kepo. Apa yang menarik buatku? Itu adalah hal-hal yang menyangkut kehidupan orang-orang sekitarku, terutama yang deket sama aku. Menyebalkan, dan aku sadar itu. Tapi tenang aja, aku Cuma kepo sama hal-hal yang bisa akan atau bahkan udah merugikan orang-orang disekellilingku. Siap-siap aja dikupasin satu per satu.
Seperti yang terjadi malam ini. Setiap akhir pekan keliling mall, tapi malam ini jauh berbeda.
18.00 . Setidaknya itu waktu yang ditunjukkan jam dinding di kamar kostku.
“Nalaaaaaaa, buruan kalo siap-siap. Udah laper tauu.”
“Iyeee, berisik. Ini juga dah beres. Salah sapa juga tadi mandi kelamaan, aku khan antri sampe ketiduran.” Kataku sambil cengengesan keluar kamar
“Rrrrrr… Dasar!! Udah yuk cuzz.”
 “Kenapa kamu jadi berisik banget ya Min? Biasanya yang paling berisik soal makan khan aku.”
Kami berdua pun berangkat, diantar supir angkutan kota. Bersama penumpang lain pastinya. Jakarta, ini malam terakhirku disini. Jadi, semoga ada yang benar-benar bisa membekas di hati. Selain pengalaman riset dan pengalaman hidup tentunya. Oh lupa. Ini khan malam terakhir. Jadi ya udahlah ya. Yang membekas adalah kemacetan, polusi kendaraan, yang hampir sama lah seperti yang aku temui di Surabaya.
Kami pun sampai. Mini langsung berjalan cepat sesaat setelah membayar ongkos angkot. Heran. Itu anak ngga makan 3 hari apa sampe heboh banget yang mau masuk mall. Tapi mau gimana lagi, aku pun mengikutinya dengan cepat.
BRAKK
Aduuh, jatuh itu rasanya sakit. Tapi kalo jatuh di mall, apalagi deket tempat makan, sakitnya ngga bakal kerasa. Lebih kerasa malunya.
“Aduh, maaf ya mbak, saya benar-benar ngga sengaja. Mbak ngga kenapa-kenapa?” Suara seorang lelaki, dia membantuku berdiri
“Laa, kamu ngga papa?” Tanya Mini
“Kalo buru-buru tuh terbang aja mas, biar ngga nabrak orang.” Ucapku setengah emosi
“Iya mbak, maaf, saya ngga sengaja. Memang ini salah saya.”
Suara lelaki itu, sepertinya aku pernah mengenalnya. Lelaki itu lebih tinggi dari aku. Aku pun mendongak melihat wajahnya.
“Hah? Mas Naizar khan?”
Lelaki itu diam. Tidak lagi meminta maaf. Tidak lagi berucap. Hanya DIAM.
“Ada apa mas?” tiba-tiba ada suara seorang wanita mendatangi kami
“Mas Izar ngga sengaja nabrak saya tadi.” Ucapku sambil menoleh ke sumber suara. Aku terdiam juga. Shock beberapa detik. Dalam hati aku bertanya “Siapa perempuan ini? Kenapa dia bersama Mas Izar disini? Dan kenapa mas Izar ada disini? Bukankah seharusnya dia ada di Bandung? Bukankah dia bilang ke mba Rosi kalo dia sangat sibuk?” Ada yang salah. Ada yang tidak beres.
“Mas, kenal sama mbak ini?” Tanya perempuan itu lagi
“Diaa…”
“Perkenalkan mbak, saya Nalani. Teman lama mas Izar. Sama-sama orang Jawa Timur.” Kataku sambil mengulurkan tangan. Berusaha sesopan mungkin. Berusaha bersikap senormal mungkin meskipun sebenarnya ingin menghujam mas Izar dengan pertanyaan yang sangat banyak.
“Oh, temennya mas Izar. Nama saya Remacora Almeta. Panggil saja Rema. Saya ceweknya mas Izar.” Ucap perempuan itu sambil menjabat tanganku
What the hell is this? Kupingku masih waras khan? Jadi ini pacar mas Izar? Ini alasan utama kenapa mas Izar minta putus? Dasar cowok brengsek!! Dalam hati aku marah. Tapi sebisa mungkin aku simpan semua itu. Aku harus mencari tau banyak hal. Dan tidak mungkin dalam keadaan marah. Aku pun Cuma bisa berkata
“Oooh, pacarnya mas Izar toh? Sudah lama mbak jadiannya? Waah mas Izar harus bayar Pajak Jadian niih sama aku.” Kelakarku sambil melirik mas Izar
“La, cari tempat duduk napa, ngga enak tau daritadi diliyatin orang mulu.” Ajak Mini
Aah, insiden barusan membuatku lupa disebelahku ada Mini. Aku pun menggandengnya dengan langkahku yang sedikit terpincang akibat jatuh barusan. Diikuti oleh Rema dengan menggandeng mas Izar.
Duduklah kami di meja paling ujung. Tak lama setelah itu Mini langsung berdiri lagi, bersiap mencari makanan, perutnya sudah sangat keroncongan sepertinya.
“La, kamu mau aku pesenin juga ngga?”
“Mmm, mas Izar sama mbak Rema mau makan apa?” ucapku basa basi
“Mas, adek mau steak yang disitu yah.” Kata Rema sambil menunjuk sebuah outlet.
Mas Izar mengeluarkan dua lembar seratus ribuan, lalu diberikan pada Rema. “Pesenin aku juga. Sama kayak pesenanmu. Sekalian bayar pajak buat Nala.” Sedikit senyum, dengan nada datar.
“Ah, ngga usah mas. Aku tadi Cuma bercanda. Min, aku pesen sama aja deh kayak kamu.” Kataku
“Bukan Nala kalo dia nolak gratisan.” Ucap mas Izar mencoba mencairkan suasana. Atau lebih tepatnya mencairkan dirinya sendiri yang sedari tadi membeku.
“Ya sudahlah terserah aja. Min, aku nunggu disini yaa, kakiku rasanya masi cenut-cenut.” Kataku jujur
“Iyee tuan putri. Aku juga ngga setega itu kalee.”
“Dek, kamu sama temennya Nala ngga papa ya. Mas tunggu disini aja.”
Terlihat muka Rema yang agak kesal. Tapi dia mencoba menutupinya dengan tersenyum kecil dan langsung berdiri. Mereka pun pergi.
 “Kamu ada acara apa di Jakarta?” Tanya mas Izar padaku
“Riset mas. Mas sendiri kenapa di Jakarta? Bukannya dines di Bandung? Katanya sibuk banget? Kok bisa sih nyampe sini segala? Bandung – Jakarta lumayan jauh khan ya?”
Mas Izar hanya terdiam. Mungkin dia tidak tau lagi harus ngomong apa. Mungkin dia takut karena semua alasan palsunya terbongkar. Mungkin dia menyesal telah membantu orang yang tanpa sengaja dia tabrak, karena orang itu adalah aku. Entahlah.
“Halloooo… Mas?” Sambil menggerakkan tanganku di depan matanya
“Ahh, maaf La. Ya jauh sih, Cuma khan lagi ada weekend, jadi bisa main kesini.”
“WOW, weekend ya mas? Aku pikir mas Izar itu sibuk banget sampe ngga ada waktu weekend. Aku pikir kerjanya 24 jam gitu kayak mesin ATM sampe bales sms aja ngga sempat.” Cecarku
Mas Izar diam lagi
“Rema itu siapa mas? Apa dia alasan sampeyan mutusin mba Rosi?”
Tiada jawaban. Mas Izar hanya diam.
Tak lama, Mini dan Rema sudah kembali ke meja.
“La, dibayarin ama adeknya tadi.” Kata Mini. Rema tersenyum padaku. Bukan sebuah senyum tulus. Semacam ada setitik kesombongan dalam raut mukanya.
“Makasih mas Izar dan mbak Rema.” Ucapku
“Mbak Nala jangan panggil saya mbak. Saya lho baru semester 3.” Kata Rema
“Ooooh.. hehehe. Kuliah jurusan apa?”
“Jurusan Manajemen Bisnis Mbak. Di Jakarta sini aja. Kalo mbak khan udah selese ya kuliahnya. Kerja mbak disini?”
“Lagi riset aja kok dek. Besok udah balik ke Surabaya. Rema udah lama pacaran sama mas Izar? Curang nih soalnya mas Izar. Ngga cerita-cerita kalo punya pacar cantik kayak gini.” Maaf, aku mulai menjilat. Sakit sebenarnya mengatakannya. Tapi aku harus bisa. HARUS!!!
“Hehehe. Belum lama kok mbak. Baru sekitaran awal bulan Juli kemarin.” Ucapnya sambil malu-malu
“Oooh, baru ya.. Selamat ya.” Setengah hati aku mengatakannya. Maaf aku menjadi munafik. Aku tersenyum. Dalam hati aku semakin marah. Mas Izar, punya pacar lagi sebelum putus sama mba Rosi? JAHAT!!!
“Rema asli Jakarta ya?” Tanya Mini
“Saya lahir di Jakarta siih mbak, tapi orang tua bukan orang asli sini. Hehehe. Papa saya sama kayak mas Izar, tentara. Kalo Mama di rumah aja. Kakak cowok saya juga tentara, tapi Angkatan Udara, adik letting mas Izar.” Ceritanya panjang lebar
“Wah, anaknya tentara biasanya mandiri ya.” Kataku setengah memuji
Rema semakin bersemangat menceritakan tentang dirinya. Dan aku, semakin masuk kedalam diriku sendiri. Inikah Naizar yang sering dipuji banyak orang, termasuk mba Rosi dan Ully? Inikah Naizar yang katanya “setia”? Apa yang sedang dia pikirkan sampai setega itu mengkhianati mba Rosi yang mati-matian menunggunya?
Aku cukup tau. Rema, dia anak dari orang yang berpengaruh besar untuk karir mas Izar. Andai mas Izar sadar bahwa ngga selamanya karir bisa member kebahagiaan. Aah, cukup Nala. Dia sudah cukup dewasa untuk tau mana yang bisa membuat dia bahagia. Dia cukup dewasa untuk tau siapa yang lebih bisa membuat dia bahagia. Mas Izar cukup tau apa yang sedang aku pikirkan hanya dengan melihat mataku. Mata yang benar-benar menatapnya tajam. Mata yang benar-benar melihat benci ke arahnya.
Rema masih belum menyadari semua itu. Dan semoga tidak pernah menyadarinya. Dia masih saja heboh bercerita, dan untungnya Mini menanggapinya dengan lumayan serius. Aku cukup diam dan mendengarkan apa yang dia katakan. Sama seperti mas Izar, cukup diam dan mendengarkan. Hanya saja, aku diam karena aku ingin tau lebih dalam. Dan mas Izar diam karena tidak tau lagi apa yang harus dia katakan.
Pertemuan singkat itu pun usai. Aku ambil handphoneku. Kutulis sebuah pesan singkat
“Aku ngga pernah nyangka mas bisa sejahat ini sama mba Rosi”
Pesan terkirim, Mas Izar.
Aku mencari sebuah nama di phonebook. Mba Rosi. Aku ingin meneleponnya sekarang juga. Tapi aku urungkan niatku. Besok pagi akan aku beritau mba Rosi. Aku pulang. Dan tanpa kusadari, aku menitikan air mata. Bukan untukku. Tapi untuk mba Rosi.

Selasa, 30 Oktober 2012

Dear adik kecil



Dear adik kecil
Adik kecil, taukah kau betapa sakit aku disini? Mungkin bukan 100% kesalahanmu, tapi, kamu pun ikut menuliskan luka pada hati ini.
Adik kecil, aku tidak tau siapa yang benar siapa yang salah. Aku tidak tahu siapa yang memulai, aku-kah, kamu-kah, atau dia? Semua terlalu bercampur aduk di otakku. Aahh, sejujurnya membuat mual perutku juga.
Adik kecil, aku tidak tau siapa sebenarnya dirimu. Yang aku tau, kamu hanyalah orang baru diantara kami, aku-dan-dia. Kamu dengan umurmu yang muda belia, bagiku cukup hebat dengan mengambilnya dari sisiku. Kamu cukup hebat dalam memporak porandakan semua yang susah payah aku bangun dan aku perjuangkan. Yaa, kamu memenangkannya.
Adik kecil,aku tidak ingin menyalahkanmu, aku hanya ingin bercerita sebagai sesama wanita. Pernah toh merasakan sakit hati? Pernah toh ngerasa nyesek banget saat ternyata orang yang kamu sayang mengkhianati kepercayaanmu? Pernah toh kecewa karena ngerasa ngga dianggap?
Adik kecil, aku tidak akan merebutnya kembali. Dia pergi atas keinginannya, bahkan akupun tak pernah mengusirnya dari hidupku. Dia yang memilih pergi, dia lebih memilihmu. Selamat.
Adik kecil, bukankah daridulu kau pun sudah tau bahwa dia adalah milikku? Tapi, kenapa kau juga berusaha merebutnya? Tidak secara frontal, pelan tapi pasti. Kau tau kami terpisah jarak cukup jauh. Kau pun juga tau bahwa jarak kalian cukup dekat. Yaa, 1 jam 30 menit jauh lebih efisien daripada 19 jam.
Adik kecil, apa yang kau punya dan tidak kupunya? Yang membuat dirinya begitu mudahnya melepasku setelah aq berjuang mempertahankannya.
Adik kecil, aku tidak benar-benar tau apakah dia menyayangimu dengan hati atau tidak, itu bukan lagi. Sekalipun hatinya masih ada namaku, tapi semua menjadi tak lagi berguna karena dia bukan lagi orang yang aku kenal dulu.
Dear adik kecil, jaga dia baik-baik. Jaga hatinya agar tak lagi menyakiti siapapun yang menyayanginya. Sampaikan salam terakhirku untuknya. Semoga kalian berbahagia.
Salam,