4 Oktober
Akhirnya, besok balik
juga ke Surabaya. Udah ngga tahan banget di Jakarta. Udah rindu setengah mati
ama Surabaya, sekalipun suasana ngga jauh berbeda, tempat asal emang ngga
tergantikan. Rindu masakan ibuk. Hehehe
Satu bulan, riset di
Jakarta. Bukan hal yang sulit, tapi ngga bisa dibilang mudah juga. Waktu yang
cukup singkat, tapi bikin jenuh juga. Aah, sudahlah. Yang penting besok pulang.
Hari ini mau dadah-dadah dulu sama Ibukota. Farewell party sama temen-temen tar
malem. Lebih tepatnya, makan bareng sebelum balik ke Surabaya. J
Aku Nalani. Orang yang
dekat padaku bilang aku salah jurusan. Harusnya aku daftar jadi reserse atau
sekalian sekolah detektif bukan menjadi seorang ahli gizi. Hehehe. Orang yang
kepo kalo sudah di gelitikin buat kepo. Jadi, kalo ngga pengen diubek-ubek
hidupnya sama aku, mending sekalian ngga usah cerita secuil apapun. Sebenarnya
sekalipun kalian cerita, kalo itu ngga menarik buatku, aku juga ngga bakalan
kepo. Apa yang menarik buatku? Itu adalah hal-hal yang menyangkut kehidupan orang-orang
sekitarku, terutama yang deket sama aku. Menyebalkan, dan aku sadar itu. Tapi
tenang aja, aku Cuma kepo sama hal-hal yang bisa akan atau bahkan udah
merugikan orang-orang disekellilingku. Siap-siap aja dikupasin satu per satu.
Seperti yang terjadi malam
ini. Setiap akhir pekan keliling mall, tapi malam ini jauh berbeda.
18.00 . Setidaknya itu waktu
yang ditunjukkan jam dinding di kamar kostku.
“Nalaaaaaaa, buruan kalo
siap-siap. Udah laper tauu.”
“Iyeee, berisik. Ini juga
dah beres. Salah sapa juga tadi mandi kelamaan, aku khan antri sampe ketiduran.”
Kataku sambil cengengesan keluar kamar
“Rrrrrr… Dasar!! Udah yuk
cuzz.”
“Kenapa kamu jadi berisik banget ya Min? Biasanya
yang paling berisik soal makan khan aku.”
Kami berdua pun berangkat,
diantar supir angkutan kota. Bersama penumpang lain pastinya. Jakarta, ini
malam terakhirku disini. Jadi, semoga ada yang benar-benar bisa membekas di
hati. Selain pengalaman riset dan pengalaman hidup tentunya. Oh lupa. Ini khan
malam terakhir. Jadi ya udahlah ya. Yang membekas adalah kemacetan, polusi
kendaraan, yang hampir sama lah seperti yang aku temui di Surabaya.
Kami pun sampai. Mini langsung
berjalan cepat sesaat setelah membayar ongkos angkot. Heran. Itu anak ngga
makan 3 hari apa sampe heboh banget yang mau masuk mall. Tapi mau gimana lagi,
aku pun mengikutinya dengan cepat.
BRAKK
Aduuh, jatuh itu
rasanya sakit. Tapi kalo jatuh di mall, apalagi deket tempat makan, sakitnya
ngga bakal kerasa. Lebih kerasa malunya.
“Aduh, maaf ya mbak,
saya benar-benar ngga sengaja. Mbak ngga kenapa-kenapa?” Suara seorang lelaki,
dia membantuku berdiri
“Laa, kamu ngga papa?” Tanya
Mini
“Kalo buru-buru tuh
terbang aja mas, biar ngga nabrak orang.” Ucapku setengah emosi
“Iya mbak, maaf, saya
ngga sengaja. Memang ini salah saya.”
Suara lelaki itu,
sepertinya aku pernah mengenalnya. Lelaki itu lebih tinggi dari aku. Aku pun
mendongak melihat wajahnya.
“Hah? Mas Naizar khan?”
Lelaki itu diam. Tidak lagi
meminta maaf. Tidak lagi berucap. Hanya DIAM.
“Ada apa mas?”
tiba-tiba ada suara seorang wanita mendatangi kami
“Mas Izar ngga sengaja
nabrak saya tadi.” Ucapku sambil menoleh ke sumber suara. Aku terdiam juga.
Shock beberapa detik. Dalam hati aku bertanya “Siapa perempuan ini? Kenapa dia
bersama Mas Izar disini? Dan kenapa mas Izar ada disini? Bukankah seharusnya
dia ada di Bandung? Bukankah dia bilang ke mba Rosi kalo dia sangat sibuk?” Ada
yang salah. Ada yang tidak beres.
“Mas, kenal sama mbak
ini?” Tanya perempuan itu lagi
“Diaa…”
“Perkenalkan mbak, saya
Nalani. Teman lama mas Izar. Sama-sama orang Jawa Timur.” Kataku sambil
mengulurkan tangan. Berusaha sesopan mungkin. Berusaha bersikap senormal
mungkin meskipun sebenarnya ingin menghujam mas Izar dengan pertanyaan yang
sangat banyak.
“Oh, temennya mas Izar.
Nama saya Remacora Almeta. Panggil saja Rema. Saya ceweknya mas Izar.” Ucap
perempuan itu sambil menjabat tanganku
What the hell is this? Kupingku masih waras khan? Jadi ini pacar mas Izar?
Ini alasan utama kenapa mas Izar minta putus? Dasar cowok brengsek!! Dalam hati
aku marah. Tapi sebisa mungkin aku simpan semua itu. Aku harus mencari tau
banyak hal. Dan tidak mungkin dalam keadaan marah. Aku pun Cuma bisa berkata
“Oooh, pacarnya mas
Izar toh? Sudah lama mbak jadiannya? Waah mas Izar harus bayar Pajak Jadian
niih sama aku.” Kelakarku sambil melirik mas Izar
“La, cari tempat duduk
napa, ngga enak tau daritadi diliyatin orang mulu.” Ajak Mini
Aah, insiden barusan
membuatku lupa disebelahku ada Mini. Aku pun menggandengnya dengan langkahku
yang sedikit terpincang akibat jatuh barusan. Diikuti oleh Rema dengan
menggandeng mas Izar.
Duduklah kami di meja
paling ujung. Tak lama setelah itu Mini langsung berdiri lagi, bersiap mencari
makanan, perutnya sudah sangat keroncongan sepertinya.
“La, kamu mau aku
pesenin juga ngga?”
“Mmm, mas Izar sama
mbak Rema mau makan apa?” ucapku basa basi
“Mas, adek mau steak
yang disitu yah.” Kata Rema sambil menunjuk sebuah outlet.
Mas Izar mengeluarkan dua
lembar seratus ribuan, lalu diberikan pada Rema. “Pesenin aku juga. Sama kayak
pesenanmu. Sekalian bayar pajak buat Nala.” Sedikit senyum, dengan nada datar.
“Ah, ngga usah mas. Aku
tadi Cuma bercanda. Min, aku pesen sama aja deh kayak kamu.” Kataku
“Bukan Nala kalo dia
nolak gratisan.” Ucap mas Izar mencoba mencairkan suasana. Atau lebih tepatnya
mencairkan dirinya sendiri yang sedari tadi membeku.
“Ya sudahlah terserah
aja. Min, aku nunggu disini yaa, kakiku rasanya masi cenut-cenut.” Kataku jujur
“Iyee tuan putri. Aku juga
ngga setega itu kalee.”
“Dek, kamu sama
temennya Nala ngga papa ya. Mas tunggu disini aja.”
Terlihat muka Rema yang
agak kesal. Tapi dia mencoba menutupinya dengan tersenyum kecil dan langsung
berdiri. Mereka pun pergi.
“Kamu ada acara apa di Jakarta?” Tanya mas
Izar padaku
“Riset mas. Mas sendiri
kenapa di Jakarta? Bukannya dines di Bandung? Katanya sibuk banget? Kok bisa
sih nyampe sini segala? Bandung – Jakarta lumayan jauh khan ya?”
Mas Izar hanya terdiam.
Mungkin dia tidak tau lagi harus ngomong apa. Mungkin dia takut karena semua
alasan palsunya terbongkar. Mungkin dia menyesal telah membantu orang yang
tanpa sengaja dia tabrak, karena orang itu adalah aku. Entahlah.
“Halloooo… Mas?” Sambil
menggerakkan tanganku di depan matanya
“Ahh, maaf La. Ya jauh
sih, Cuma khan lagi ada weekend, jadi bisa main kesini.”
“WOW, weekend ya mas? Aku
pikir mas Izar itu sibuk banget sampe ngga ada waktu weekend. Aku pikir
kerjanya 24 jam gitu kayak mesin ATM sampe bales sms aja ngga sempat.” Cecarku
Mas Izar diam lagi
“Rema itu siapa mas? Apa
dia alasan sampeyan mutusin mba Rosi?”
Tiada jawaban. Mas Izar
hanya diam.
Tak lama, Mini dan Rema
sudah kembali ke meja.
“La, dibayarin ama
adeknya tadi.” Kata Mini. Rema tersenyum padaku. Bukan sebuah senyum tulus. Semacam
ada setitik kesombongan dalam raut mukanya.
“Makasih mas Izar dan
mbak Rema.” Ucapku
“Mbak Nala jangan
panggil saya mbak. Saya lho baru semester 3.” Kata Rema
“Ooooh.. hehehe. Kuliah
jurusan apa?”
“Jurusan Manajemen
Bisnis Mbak. Di Jakarta sini aja. Kalo mbak khan udah selese ya kuliahnya. Kerja
mbak disini?”
“Lagi riset aja kok
dek. Besok udah balik ke Surabaya. Rema udah lama pacaran sama mas Izar? Curang
nih soalnya mas Izar. Ngga cerita-cerita kalo punya pacar cantik kayak gini.” Maaf,
aku mulai menjilat. Sakit sebenarnya mengatakannya. Tapi aku harus bisa.
HARUS!!!
“Hehehe. Belum lama kok
mbak. Baru sekitaran awal bulan Juli kemarin.” Ucapnya sambil malu-malu
“Oooh, baru ya..
Selamat ya.” Setengah hati aku mengatakannya. Maaf aku menjadi munafik. Aku tersenyum.
Dalam hati aku semakin marah. Mas Izar, punya pacar lagi sebelum putus sama mba
Rosi? JAHAT!!!
“Rema asli Jakarta ya?”
Tanya Mini
“Saya lahir di Jakarta
siih mbak, tapi orang tua bukan orang asli sini. Hehehe. Papa saya sama kayak
mas Izar, tentara. Kalo Mama di rumah aja. Kakak cowok saya juga tentara, tapi
Angkatan Udara, adik letting mas Izar.” Ceritanya panjang lebar
“Wah, anaknya tentara
biasanya mandiri ya.” Kataku setengah memuji
Rema semakin
bersemangat menceritakan tentang dirinya. Dan aku, semakin masuk kedalam diriku
sendiri. Inikah Naizar yang sering dipuji banyak orang, termasuk mba Rosi dan Ully?
Inikah Naizar yang katanya “setia”? Apa yang sedang dia pikirkan sampai setega
itu mengkhianati mba Rosi yang mati-matian menunggunya?
Aku cukup tau. Rema,
dia anak dari orang yang berpengaruh besar untuk karir mas Izar. Andai mas Izar
sadar bahwa ngga selamanya karir bisa member kebahagiaan. Aah, cukup Nala. Dia sudah
cukup dewasa untuk tau mana yang bisa membuat dia bahagia. Dia cukup dewasa
untuk tau siapa yang lebih bisa membuat dia bahagia. Mas Izar cukup tau apa yang
sedang aku pikirkan hanya dengan melihat mataku. Mata yang benar-benar
menatapnya tajam. Mata yang benar-benar melihat benci ke arahnya.
Rema masih belum
menyadari semua itu. Dan semoga tidak pernah menyadarinya. Dia masih saja heboh
bercerita, dan untungnya Mini menanggapinya dengan lumayan serius. Aku cukup
diam dan mendengarkan apa yang dia katakan. Sama seperti mas Izar, cukup diam
dan mendengarkan. Hanya saja, aku diam karena aku ingin tau lebih dalam. Dan mas
Izar diam karena tidak tau lagi apa yang harus dia katakan.
Pertemuan singkat itu
pun usai. Aku ambil handphoneku. Kutulis sebuah pesan singkat
“Aku
ngga pernah nyangka mas bisa sejahat ini sama mba Rosi”
Pesan terkirim, Mas
Izar.
Aku mencari sebuah nama
di phonebook. Mba Rosi. Aku ingin
meneleponnya sekarang juga. Tapi aku urungkan niatku. Besok pagi akan aku
beritau mba Rosi. Aku pulang. Dan tanpa kusadari, aku menitikan air mata. Bukan
untukku. Tapi untuk mba Rosi.